Jakarta (oktosel.com)
Opini publik tentang rating acara televisi (TV) selalu diwarnai oleh
dua pandangan hipotetis. Bila acara memiliki rating tinggi, maka
otomatis acara tersebut dinilai bagus. Sebaliknya, bila tayangan acara
divonis jelek kalau capaian angka rating tergolong rendah.
Akibat lebih jauh dari arak-arakan wacana media memuliakan rating
membuat para sebagian praktisi dan profesional penyiaran, khususnya yang
berkubang pada produksi tipe program bergenre non-rating, seperti
informasi, menjadi turun pamor dan jatuh “harga bandrolnya” di mata
manajemen TV. Yang paling parah, kalau mereka ini dijangkiti inferiority
complex, rendah diri. Bahkan, stigma tipe program TV tertentu tidak
ber-rating telah membuatnya kikuk, gamang, gagap, dan dilalap sindrom
under dog.
Padahal, rating acara TV sebenarnya merupakan bentuk feedback pemirsa
TV yang secara teknis dipersembahkan dengan cara mengukur kuantitas atau
seberapa banyak jumlah pemirsa menonton sebuah acara televisi.
Sejatinya, kata kunci rating adalah terletak pada sisi kuantitas atau
“seberapa banyak”nya itu. Dengan demikian, rating bukanlah parameter
menggambarkan aspek kualitas atau seberapa baik-bagus sebuah program
acara.
Opini publik salah paham dalam memaknai rating seperti itu bukanlah
tanpa sebab. Salah satu sumbernya adalah karena wacana realitas media
cenderung menonjolkan sudut pandang capaian angka rating (share) untuk
menilai kesuksesan atau keberhasilan tayangan televisi. Pemberitaan yang
tak utuh mengenai makna rating itu bukan karena kesalahan media, tapi
lebih karena adanya dominasi cara pikir intelektual organik penyiaran
(programer yang bertugas menyusun jadwal acara siaran sehari-hari) dan
praktisi sales-marketing yang berfungsi menjual durasi acara kepada
pengiklan.
Dalam banyak kasus, programer sering mengedepankan pentingnya rating
(share) untuk mendongkrak popularitas stasiun TV. Kepentingan divisional
itu membuat programer berpikir amat pragmatis dengan menjadikan angka
rating sebagai informasi tunggal memutuskan menetapkan pola acara dalam
konteks persaingan dengan TV lain.
Sementara itu, praktisi sales-marketing terkesan maunya adalah bagaimana
secara cepat mampu mengejar dan memenuhi target penjualan. Karena tak
mau “berkeringat” dan sedikit membuka wawasan menerima kreasi baru
program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar mau menaruh spot iklan
ke acara yang dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam “benchmark”. Dalam
prakteknya, marketing pelit keringat ini tak ada upaya “menjual” konsep
kepada pengiklan, tapi cenderung menyebut nama acara yang sudah ada
sebagai cara mudah menggambarkan isi acaraya yang ditawarkannya kepada
pengiklan.
Perilaku programer dan sales-marketing “mendewakan” rating seperti itu
merupakan potret betapa keduanya hanya memiliki ruang negosiasi yang
amat sempit dengan pemilik TV, sekaligus cermin bening keduanya bertekuk
lutut dengan kepentingan pengiklan. Salah satu kepentingan utama
pengiklan adalah bagaimana caranya spot iklannya sebesar-besarnya
ditatap oleh penonton TV. Demi efektivitas hasil ikan, terlebih iklan
yang dikelola agency, spot iklan cenderung ditaruh pada acara yang
sukses secara rating, seperti acara yang mampu masuk bertengger pada
jajaran 100 acara peraih rating tertinggi (TOP 100).
Perhitungan sedemikian itu merupakan manifestasi efesiensi biaya bisnis.
Pengiklan sangat berkepentingan dengan kemampuan menjangkau jumlah
pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui
acara TV, sehingga ongkos promosinya itu berpotensi balik dengan jumlah
jauh lebih tinggi. Sebuah mekanisme kerja lazim sebuah logika bisnis
industri penyiaran yang mengandalkan rumus cost and benefit. Rumus itu
implementasi dari matra efisiensi, selain akselerasi dan persaingan
bebas dari spirit mengejar profit dan akumulasi modal. Semangat tinggi
itu sendiri tak lain merupakan ekspresi sikap agresif dan eksploitatif
paradigma bisnis televisi abad industri.
http://m.oktomagazine.com/arsip/97/salah.paham.rating.televisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar