Kamis, 18 April 2013

SALAH PAHAM RATING TELEVISI

          Jakarta (oktosel.com) Opini publik tentang rating acara televisi (TV) selalu diwarnai oleh dua pandangan hipotetis. Bila acara memiliki rating tinggi, maka otomatis acara tersebut dinilai bagus. Sebaliknya, bila tayangan acara divonis jelek kalau capaian angka rating tergolong rendah. Akibat lebih jauh dari arak-arakan wacana media memuliakan rating membuat para sebagian praktisi dan profesional penyiaran, khususnya yang berkubang pada produksi tipe program bergenre non-rating, seperti informasi, menjadi turun pamor dan jatuh “harga bandrolnya” di mata manajemen TV. Yang paling parah, kalau mereka ini dijangkiti inferiority complex, rendah diri. Bahkan, stigma tipe program TV tertentu tidak ber-rating telah membuatnya kikuk, gamang, gagap, dan dilalap sindrom under dog. Padahal, rating acara TV sebenarnya merupakan bentuk feedback pemirsa TV yang secara teknis dipersembahkan dengan cara mengukur kuantitas atau seberapa banyak jumlah pemirsa menonton sebuah acara televisi. Sejatinya, kata kunci rating adalah terletak pada sisi kuantitas atau “seberapa banyak”nya itu. Dengan demikian, rating bukanlah parameter menggambarkan aspek kualitas atau seberapa baik-bagus sebuah program acara. Opini publik salah paham dalam memaknai rating seperti itu bukanlah tanpa sebab. Salah satu sumbernya adalah karena wacana realitas media cenderung menonjolkan sudut pandang capaian angka rating (share) untuk menilai kesuksesan atau keberhasilan tayangan televisi. Pemberitaan yang tak utuh mengenai makna rating itu bukan karena kesalahan media, tapi lebih karena adanya dominasi cara pikir intelektual organik penyiaran (programer yang bertugas menyusun jadwal acara siaran sehari-hari) dan praktisi sales-marketing yang berfungsi menjual durasi acara kepada pengiklan. Dalam banyak kasus, programer sering mengedepankan pentingnya rating (share) untuk mendongkrak popularitas stasiun TV. Kepentingan divisional itu membuat programer berpikir amat pragmatis dengan menjadikan angka rating sebagai informasi tunggal memutuskan menetapkan pola acara dalam konteks persaingan dengan TV lain. Sementara itu, praktisi sales-marketing terkesan maunya adalah bagaimana secara cepat mampu mengejar dan memenuhi target penjualan. Karena tak mau “berkeringat” dan sedikit membuka wawasan menerima kreasi baru program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar mau menaruh spot iklan ke acara yang dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam “benchmark”. Dalam prakteknya, marketing pelit keringat ini tak ada upaya “menjual” konsep kepada pengiklan, tapi cenderung menyebut nama acara yang sudah ada sebagai cara mudah menggambarkan isi acaraya yang ditawarkannya kepada pengiklan. Perilaku programer dan sales-marketing “mendewakan” rating seperti itu merupakan potret betapa keduanya hanya memiliki ruang negosiasi yang amat sempit dengan pemilik TV, sekaligus cermin bening keduanya bertekuk lutut dengan kepentingan pengiklan. Salah satu kepentingan utama pengiklan adalah bagaimana caranya spot iklannya sebesar-besarnya ditatap oleh penonton TV. Demi efektivitas hasil ikan, terlebih iklan yang dikelola agency, spot iklan cenderung ditaruh pada acara yang sukses secara rating, seperti acara yang mampu masuk bertengger pada jajaran 100 acara peraih rating tertinggi (TOP 100). Perhitungan sedemikian itu merupakan manifestasi efesiensi biaya bisnis. Pengiklan sangat berkepentingan dengan kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga ongkos promosinya itu berpotensi balik dengan jumlah jauh lebih tinggi. Sebuah mekanisme kerja lazim sebuah logika bisnis industri penyiaran yang mengandalkan rumus cost and benefit. Rumus itu implementasi dari matra efisiensi, selain akselerasi dan persaingan bebas dari spirit mengejar profit dan akumulasi modal. Semangat tinggi itu sendiri tak lain merupakan ekspresi sikap agresif dan eksploitatif paradigma bisnis televisi abad industri.

http://m.oktomagazine.com/arsip/97/salah.paham.rating.televisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar